Senin, 29 April 2013

Status hukum dan kedudukan seseorang dalam bidang hukum dan jaminan HAM di Indonesia jika dia tidak memiliki kewarganegaraan (apatride), dikaji pada UU Nomor 12 Tahun 2006



A.  Pasal 4 UU No 12 Th 2006 menerangkan bahwa :
Warga Negara Indonesia adalah:
1.      setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;
2.      anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;
3.      anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
4.      anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
5.      anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
6.      anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
7.      anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
8.      anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
9.      anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
10.  anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
11.  anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
12.  anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
13.  anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
B.   Pengertian Apatride (tanpa kewarganegaraan)
Timbul apabila menurut peraturan kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warganegara dari negara manapun. Misalnya Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus ius-soli. Mereka berdomisili di negasa A yang berasas ius-sanguinis. Kemudian lahirlah anak mereka, Budi. Menurut negara A, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena orang tuanya bukan warganegaranya. Begitu pula menurut negara B, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena lahir di negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai kewarganegaraan atau Apatride. Status kewarganegaraan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 memungkinkan anak hasil dari perkawinan campuran tidak lagi hanya dapat memperoleh kewarganegaraan berdasarkan garis keturunan ayahnya tetapi juga berdasarkan garis keturunan Ibunya yang berkewargaegaraan Indonesia.
Oleh karena itu, apabila seseorang mengalami kasus aptride, setelah berumur 18 tahun dia bebas memilih kewarganegaraannya dengan jalan naturalisasi. Naturalisasi adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh status kewarganegaraan. Ada dua jenis pewarganegaran, yaitu pewarganegaran aktif dan pasif. Dalam pewarganegaran aktif seseorang dapat menggunakan hak opsi, yaitu untuk memilih dan mengajukan kehendak menjadi warga Negara di suatu Negara. Sedangkan dalam pewarganegaran pasif, apabila sesorang tidak mau dijadikan warga Negara suatu Negara, maka dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaran dari suatu Negara.
Misal : seseorang memperoleh status kewarganegaraan akibat dari pernikahan, mengajukan permohonan, memilih/menolak status kewarganegaraan
1.      Naturalisasi Biasa Syarat-syarat :
a.       Telah berusia 21 Tahun
b.      Lahir di wilayah RI / bertempat tinggal yang paling akhir min. 5 thn berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut
c.       Apabila ia seorang laki-laki yg sudah kawin, ia perlu mendapat persetujuan istrinya
d.      Dapat berbahasa Indonesia
e.       Sehat jasmani & rokhani
f.       Bersedia membayar kepada kas negara uang sejumlah Rp.500 sampai 10.000 bergantung kepada penghasilan setiap bulan
g.      Mempunyai mata pencaharian tetap
h.      Tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan atau kehilangan kewarganegaraan RI
2.      Naturalisasi Istimewa
Naturalisasi ini dapat diberikan bagi mereka (warga asing) yang telah berjasa kepada negara RI dengan penyataan sendiri (permohonan) untuk menjadi WNI, atau dapat diminta oleh negara RI. Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.

Pasal 9
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b.      pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c.       sehat jasmani dan rohani;
d.      dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e.       tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f.       jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
g.      mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h.      membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Pasal 10
a.    Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara          tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.
b.    Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat.

Pasal 11
Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disertai dengan pertirnbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima.

Pasal 12
a.    Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya.
b.    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
a.       Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan.
b.      Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
c.       Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.
d.      Penolakan permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
C.  Persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1.    Landasan yang menjamin persamaan kedudukan warga negara
a)      Pancasila sebagai jiwa, kepribadian, pandangan hidup dan dasar negara yang terdapat pada sila kedua.
b)      Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesai pada alinea pertama.
c)      Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pasal 26 ayat 1, pasal 27, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1 dan 2, pasal 31 ayat 1 dan 2.
d)      Peraturan perundang-undangan : UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.1 tahun 1999 tentang pengadilan HAM.
2.      Berbagai aspek bersamaan kedudukan setiap warga negara. Pentingnya prinsip persamaan kedudukan setiap warga negara dapat dilihat dari nilai moral yang tersirat dalam prinsip persamaan, harkat, derajat dan martabat manusia. Hal ini juga dapat dilihat dari sikap warga negara dan pemerintah dalam menyalurkan tugas, kewajiban, dan wewenangnya. Menurut Tap MPR No.IV/MPR/1999, Kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dialam reformasi ini hendak dibangun dengan berlandaskan prinsip persamaan dan anti diskriminasi. Konsekuensi dari ketentuan tesebut adalah :
a)      Setiap manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa, Yang sama hak dan kewajibannya, sama derajatnya, tanpa membeda-bedakan suku, agama, gender, dan lain-lain.
b)       Pemerintah dan warga negara dituntut untuk bertindak dengan menjunjung tinggi prinsip persamaan derajat, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
c)      Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlakukan semua warga negara tanpa diskriminasi.
d)     Pemerintah juga berwenang menindak barang siapa yang bertindak diskriminatif terhadap orang lain.
e)      Setiap warga negara wajib memperlakukan pihak lain tanpa diskriminasi. Sebaliknya mereka juga berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari sesama warga negara maupun dari pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan. Perlakuan yang tidak diskriminatif tidak selalu berarti memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, tetapi berarti memberikan perlakuan terhadap semua orang sesuai dengan hak yang ada padanya. Itulah kebijaksanaan yang perlu kita sadari dalam melaksanakan prinsip persamaan kedudukan warga negara dalam kehidupan.
Status kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaannya dalam negara. Oleh sebab itu, negara wajib melindunginya. Perlindungan yang dimaksud disini berdimensi HAM dan KAM (Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia). Selain itu, dalam dimensi Hukum Publik, status kewarganegaraan seseorang akan menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai Warga Negara dimana mereka harus tunduk dan patuh pada hukum-hukum negara sebagai manifestasi kehendak bersama dalam ikatan kontrak sosial yang merupakan prasyarat normatif terbentuknya Negara. Status kewarganegaraan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, disini dinyatakan bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Di dalam UU ini juga mengatur tentang status WNA dan cara serta syarat bagi WNA untuk memperoleh status sebagai WNI. Jadi status kewarganegaraan seseorang mempengaruhi perlindungan dan batasan pelimpahan HAM yang dimilikinya termasuk dalam memperoleh pekerjaan, tergantung sejauh mana hukum yang mengatur membatasinya, serta batasannya terhadap hak orang lain, karena adanya batasan-batasan hak inilah maka timbul kewajiban sebagai pelaksana terwujudnya perlindungan terhadap hak. Setelah hak itu dijadikan hukum positive, maka statusnya sebagai hak alamiah akan hilang dan digantikan sebagai hak positive (hak yang diatur oleh hukum positive) yang penerapannya dapat dipaksakan dan memiliki kepastian serta batasan yang mengaturnya. Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 memuat juga ancaman pidana bagi pelanggaran baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. Ancaman pidana tersebut tidak hanya ditujukan kepada masyarakat yang dapat mempergunakan hak untuk memperoleh kewarganegaraan tetapi juga kepada pejabat pemerintah yang bertugas untuk melaksanakan Undang-undang ini sebagaimana mestinya. Yang diatur dalam Bab VI, perumusan ketentuan pidana mulai Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38. Dari perumusan pasal-pasal itu lengkapnya dikutip sebagai berikut :
Pasal 36 :
(1) Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 37 :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 38 :
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dicabut izin usahanya.
(3) Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar